Audiophile ?
Audiophile? - Seorang penggemar audio dikatakan sebagai seorang audiophile, jika dia sangat-sangat teliti dalam membedakan ataupun mencerna suara yang dihasilkan dari suatu perangkat audio.
Satu contoh, ketika dia mendengarkan CD musik instrumen, yang mana suara petikan gitar yang dia dengar tidak terdengar seperti aslinya.
Maka, knob equalizer pun menjadi pelampiasan dengan harapan agar suara gitar terdengar menjadi seperti asli.
Geser sana geser sini, akhirnya susunan knob equalizer pun menjadi seperti mode live.. Puas sudah!
Nah, seperti itulah gambaran sederhana tentang seorang yang dikatakan sebagai audiophile.
Ibaratnya.. telinga mereka gak bisa dibohongi!.
Audiophile Equipment
Perangkat pun juga demikian, dikatakan sebagai perangkat yang berstandar audiophile adalah jika perangkat tersebut mampu mereproduksi sinyal masukan dan menghasilkan suara yang mirip seperti asli ketika rekaman.
Misalnya, suara tendangan pedal bass drum harus tetap seperti suara pedal bass drum, tidak berubah menjadi seperti suara gebukan tom floor.
Untuk mewujudkan perangkat seperti itu, dalam perakitannya dibutuhkan komponen-komponen kelas wahid, speaker dengan respon frequency yang lebar, system grounding yang tepat, kualitas dan pengkabelan yang bagus dan lain sebagainya.
Yang lebih ekstrim lagi, mereka beralih ke rangkaian tabung.. tentunya dengan biaya yang tidak sedikit pula.
Rangkaian Diskrit
Perakitan modern umumnya mengusung rangkaian integrated semisal chip yang dikemas sedemikian kecil dan ringkas namun mewakili berbagai macam function.
Bisa dibayangkan banyak komponen yang dijejalkan di dalamnya.
Mulai dari penguatan awal yang terdiri dari beberapa tingkat, pengaturan nada dengan beberapa tingkat pula, selektor dari berbagai sumber dan sebagainya, semua hanya dalam satu kemasan!
Praktis memang, namun apa yang didapat?
Noise-lah salah satu permasalahan yang mencolok.
Hanya karena noise saja nada tinggi menjadi terusik, hilang sudah kesan audiophile!.
Lalu apa solusinya?
Kembali ke rangkaian diskrit, itu jawaban dari beberapa rekan pecinta audio kawakan.
Rangkaian menggunakan komponen terpisah, dibuat ringkas sedemikian rupa dengan tanpa menerapkan penguatan yang berlebihan, menggunakan transistor, kapasitor maupun resistor nomor satu bahkan terkadang hasil dari mencopot protolan perangkat yang bermerk atau alternatif lain dengan menggunakan tabung (untuk yang mempunyai dana lebih tentunya), jalur sirkuit dibuat se-pendek mungkin hingga penempatan komponen terlihat sepi dan tidak rapi lagi.
Finally.. menghasilkan suara yang menakjubkan, natural dan apa adanya, nada bass yang solid dan tidak terkesan panjang, nada treble yang renyah tidak memekakkan telinga, suara vokal yang lebih open, tebal dan tidak seperti tercekik lagi..
Itulah yang dicari dari seorang audiophile.
Sumber Musik
Logikanya gini.. Sebagus bagusnya perangkat bila sumber musik berasal dari file musik format mp3 dengan bitrate hanya 64kbps maka tetap saja masih bersuara tumpul, bikin frustasi!.
Jadi masih dibutuhkan sumber musik yang berkualitas bagus juga.
Info yang saya dapat dari grup audiophile di media sosial tentang jenis file musik yang bagus untuk hal ini.
Umumnya para audiophile masih berpegang pada file uncompressed semisal WAV (WAVeform audio format) dan file "lossless" FLAC (Free Lossless Audio Codec).
WAV bisa dikatakan file mentah dan berukuran lebih besar dari FLAC.
Kedua file ini memiliki ukuran yang sangat besar, satu track lagu bisa mencapai 30MB hingga 100MB lebih (hasil ripping CD original tanpa kompres).
Atau lebih gampangnya gunakan saja sumber musik langsung dari CD player biar gak pusing mikirin codec.
So, dengan perangkat yang serba nomer satu dan sumber musik dari CD player atau file musik yang kualitasnya setara CD..
Audiophile pun mendampingi anda.
No comments:
Leave a Comment